Selasa, 14 Februari 2012

Bakudapa 2011 Upaya Melestarikan Budaya Kawanua



Bagaimana kabar ngana jo?” ungkap seorang ibu paruh baya sembari memeluk dan mencium seorang perempuan paruh baya lainnya. “Puji Tuhan, baek-baek, ngana sendiri bagaimana? Dah lama kita tak bakudapa jo,” Jawab perempuan tersebut. Itulah segelumit peristiwa bahagia yang terjadi di Sport Center Jambu Luwuk Resort, tempat diadakannya berbagai perlombaan bernuansa Kawanua, awal Oktober 2011 lalu.

Acara tersebut merupakan bagian dari acara “Kawanua Bakudapa Sedunia 2011” yang dihelat di Kota Batu, kota yang mengikrarkan diri sebagai kota wisata. Selama seminggu, ribuan warga Kawanua yang bukan hanya datang dari penjuru Nusantara, namun dari beberapa belahan dunia larut dalam “bakudapa sebagaimana mereka rindukan.

Dalam penelusuran penulis yang kurang memahami budaya Kawanua, dari seorang kawan Minahasa, penulis menemukan istilah bakudapa. Bakudapa, dalam bahasa Indonesia memiliki makna Baku Dapat atau saling bertemu muka. Istilah ini digunakan untuk menjelaskan adanya pertemuan langsung antar pribadi. Lebih dari sekedar bertemu, bakudapa merupakan ajang untuk melepas rindu terhadap sesama warga Kawanua dan juga kerinduan terhadap kampung halaman.

Sebagaimana warga dari suku lainnya terutama Jawa dan Batak, warga Kawanua merupakan bagian dari masyarakat yang mudah beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Dalam adaptasi yang mengandung unsur akulturasi dan asimilasi, nuansa budaya asli Kawanua akan senantiasa tampak. Salah satunya melalui logat bicara.

Namun tak dapat dipungkiri, kuatnya kemampuan beradaptasi dengan lingkungan sebagaimana warga Suku Batak dan Jawa, membuat terkadang warga Kawanua “seakan kehilangan identitasnya.” Hal ini terutama terjadi pada keturunan Kawanua yang telah lama di “rantau” dan kurang mengenal budaya asali mereka, ungkap Benni Matindas, salah satu budayawan Manado dalam sebuah diskusi dengan penulis.

Bertolak dari hal itulah salah satu alasan mengapa pertemuan Kawanua Bakudapa Sedunia dihelat selama satu minggu penuh. “Ya memang itu salah satu tujuan kita, supaya warga Kawanua terutama generasi muda yang tidak bersentuhan dengan budaya asal tidak melupakan budaya asalnya. Kami rindu generasi muda Kawanua (Manado dan sekitarnya) seperti generasi muda suku Jawa yang tidak pernah kehilangan akar budayanya” ungkap ketua panitia acara, Hendrikus A Dimpudus, MA dalam sebuah dialog dengan penulis.

Sekilas pernyataan Dimpudus melegakan hati penulis sebagai orang Jawa. Namun ketika penulis kembali merenung, keprihatinan yang dialami Dimpudus tak berbeda dengan keprihatinan yang penulis alami. Sebagai “wong asli Jowo” penulis merasa sedih, sebab dalam berbahasa Jawa dan menorehkan aksara Jawa pun, kemampuan penulis hampir mendekati titik ketiadaan.

Kembali ke acara Kawanua Bakudapa Sedunia, ketika membaca buku acara yang disodorkan Dimpudus dan menyimak beberapa rangkaian acara, penulis menemukan kuatnya nuansa kembali ke budaya asali. Ulasan singkat dan beberapa materi seminar menunjukkan tingginya semangat untuk membawa setiap warga kawanua khususnya generasi muda, menikmati dan mencintai budaya asali mereka.

Sebut saja, Minahasa dan Manguni, Musik Bambu Bia, Minahasa Negeri Para Pemberani dan beberapa artikel lainnya turut menghias buku acara yang bernuansa warna dan ornamen khas Mihanasa. Belum lagi beberapa tema seminar seperti sistem dan nilai ekonomi Minahasa, Prinsip-prinsip utama kehidupan manusia Minahasa, Jiwa Ksatria Minahasa, Fungsi Strategis Kepemimpinan yang berakar pada budaya Mihasa turut mengokohkan semangat kembali ke budaya asali.

Selain seminar, tari cakalele yang disajikan di pembukaan Kawanua Bakudapa Sedunia 2011 dipadu dengan berbagai tarian khas Minahasa seperti tari Maengket membuat nuansa budaya tanah Manguni terlihat jelas. Tak hanya mata, telingapun dibawa ke alam Bunaken melalui lantunan musik kolintang yang bukan hanya disajikan namun dilombakan.

Bias Budaya

Kembali kepada motivasi utama diadakannya bakudapa yang sarat dengan perhelatan budaya, sangat menarik untuk menyimak kembali pernyataan Ketua Panitia, Hendrikus Dimpudus. Upaya untuk melestarikan budaya Kawanua bertolak dari kekuatiran hilangnya pemahaman warga Minahasa khususnya generasi muda terhadap akar budaya.

Tak dapat dipungkiri, sebagaimana pengakuan Dimpudus, seiring dengan berjalannya waktu, terdapat kebingungan diantara generasi muda terutama yang ada di rantau atau bukan berasal dari keturunan asli Minahasa (hanya salah satu orang tua berasal dari Minahasa). Kebingungan ini menyebabkan terjadinya bias budaya.

Keterbukaan Minahasa terhadap budaya luar termasuk budaya asing yang berasal dari Belanda dan negara lain membuat budaya Minahasa asli kurang dapat dikenali. Akulturasi dan asimilasi yang cukup lama dengan budaya barat, menyebabkan generasi muda kebingungan menentukan budaya asli Kawanua. Hal ini diperparah dengan jauhnya generasi muda di rantau dengan akar budaya kawanua di bumi Minahasa.

Namun tak semudah membalik telapak tangan, upaya mengharmoniskan kembali generasi muda Kawanua dengan akar budaya mereka merupakan upaya panjang yang harus dikerjakan. Berbagai sekat dan endapan konsep maupun prinsip hidup, termasuk agama (terutama agama Samawi) membuat upaya menemukan akar budaya Minahasa memerlukan keberanian untuk melepaskan diri dari berbagai tirani keyakinan.

Sebut saja Kekristenan, menyitir ungkapan Budayawan Minahasa, benni Matindas, ketika menjelaskan tentang asal mula musik kolintang, kehadiran Kekristenan di tanah Minahasa, diakui atau tidak memiliki andil besar dalam menyingkirkan dan mengubur budaya lokal Minahasa. “Sinkritisme”, “Okultisme” dan “Sesat” merupakan stigma yang menjadi penghalang bagi upaya untuk kembali menemukan akar budaya Minahasa.

Namun sesal dikemudian hari tiada guna, seiring dengan berjalannya waktu, sudah saatnya Kekristenan sebagai salah satu elemen yang berpengaruh dalam budaya Mihanasa membuka diri. Kekristenan harus mampu menghadirkan essensi diri yang berorientasi pada kearifan lokal, bukan lagi budaya barat yang membuat Kekristenan terpuruk dalam tudingan anti budaya lokal dan agen Imprealisme.

Walau “Pertemuan Kawanua Bakudapa Sedunia 2011” baru merupakan riak kecil upaya untuk mengembalikan warga Kawanua khususnya generasi muda ke akar budaya Minahasa, acungan jempol layak kita berikan bagi upaya yang lebih besar bagi terwujudnya budaya nasional yang mengedepankan keragaman asali nusantara melawan kuatnya arus globalisasi. Selamat berjuang menemukan akar budaya kita masing-masing.(coretanku di jelajahbudaya.com dimana aku belajar menulis)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar