Selasa, 14 Februari 2012

Soto Branggahan Soto Khas Kediri

Tahu Takwa, Krupuk Opil (Krupuk Tamayum), Pecel Tumpang, Sate 02 (Bekicot) itulah sederet kuliner yang terpikir di benak kita, ketika kita menyebut nama Kediri. Namun sebenarnya, selain beberapa makanan yang sebagian telah diulas dalam jelajahbudaya.com, Kediri masih menyimpan bermacam kuliner khas lainnya salah satunya adalah Soto Branggahan.

Soto Branggahan memang tak seterkenal soto Lamongan, Soto Madura maupun Coto Makassar. Jika ketiga varian soto tersebut tersebar di seluruh penjuru Nusantara, bahkan manca negara, Soto Branggahan hanya terlokalisir di sepanjang jalan Desa Branggahan, Kecamatan Ngadiluwih, Kabupaten Kediri. Kalaupun ada di luar wilayah tersebut, jumlahnya tidak terlalu banyak, dan hanya berupa warung tenda atau warung kecil.

Sebagaimana soto-soto lain yang memiliki kekhasan sesuai dengan daerah di mana soto tersebut dijual, Soto Branggahan juga memiliki kekhasan. Kekhasan itu terletak pada piranti makan dan racikan bahan yang digunakan. Dari sisi piranti makan, Soto Branggahan (yang asli) disajikan dengan menggunakan mangkuk kecil (Seperti mangkuk bubur Cina Kuno) dan sendok bebek berbahan baja tahan karat (Stainless Steel).
Sementara untuk racikan bahan, berbeda dengan beberapa jenis soto, Soto Branggahan berkuah santan yang telah dicampur dengan kemiri. Ini digunakan agar kuah tidak bening dan dapat menambah rasa gurih. Ini berbeda dengan Soto Kudus yang menggunakan taburan kacang goreng sebagai penambah gurih.

Untuk bahan lainnya, tak berbeda dengan Soto Lamongan yang menggunakan daging ayam kampung dan irisan sayur seperti kobis dan seledri. Perbedaan lain dengan Soto Lamongan adalah tidak adanya koya yang ditaburkan di atas sajian Soto Branggahan. Sementara itu untuk menambah rasa pedas, berbeda dengan soto lainnya yang menggunakan sambal, Soto Branggahan menggunakan cabai kecil rebus utuh yang dapat digerus.

Piranti makan yang unik dan rasa gurih namun tidak eneg ketika mengkonsumsi Soto Branggahan membuat mayoritas konsumen “tanduk” (tambah) ketika menikmatinya. Bahkan menurut Badriyah, salah satu penjual Soto Branggahan beberapa pembelinya sampai tambah sebanyak enam hingga delapan mangkuk.

“Mereka makan sampai tanduk-tanduk (tambah) beberapa kali karena ukuran mangkuknya kan kecil. Kalau dibandingkan mangkuk biasa hanya setengah sampai sepertiganya saja. Selain itu rasanya kan gurih dan tidak “eneg” mas. Tapi karena ada yang bilang mangkuknya terlalu kecil, ya saya sediakan mangkuk besar,” ungkap Badriyah.

Berawal Dari Soto Pikul

Menurut beberapa warga asli Branggahan, soto berkuah santan dan tumbukan kemiri ini telah ada sejak tahun 1962. Pada awalnya hanya ada 2 orang penjual soto yang saat ini menjadi kuliner khas Branggahan ini. Salah satunya Cak Beno yang kini usahanya diteruskan oleh putranya.

Setelah “fase pikulan” untuk beberapa saat lamanya, Cak Beno dan beberapa pedagang soto pikul asal Branggahan lainnya memutuskan untuk mangkal di pinggir jalan. Karena mereka berjualan di bawah Pohon Joar, Soto Branggahan yang kita kenal sekarang sempat disebut Soto Joar.

Seiring dengan berjalannya waktu, terdapat belasan warga Branggahan yang berwirausaha soto dengan menggunakan warung tenda di pinggir jalan utama jalur Kediri Tulungagung. Tak pelak lagi, kuliner berkuah yang menurut dennys lombard (dalam Nusa Jawa: Silang Budaya) berasal dari Cina ini memakai “brand” Soto Branggahan.

Menurut Helmi, cah asli Branggahan yang kini merantau di Jakarta, jumlah pedagang Soto Branggahan semakin bertambah pasca krisis moneter yang terjadi di era 90’an. Hingga kini, menurut Badriyah, salah satu peramu Soto Branggahan, jumlah pedagang Soto Branggahan sudah berada di kisaran 50 pedagang.

Bertambahnya pedagang makanan yang menurut antropolog UGM Dr. Lono Simatupang merupakan makanan kolaboratif ini, terjadi karena peluang bisnis yang menjanjikan. Hal ini membuat banyak investor yang hanya berinvestasi tanpa mau terjun langsung. Biasanya mereka hanya mengawasi sebentar usahanya lalu menyerahkan kepada beberapa gadis belia yang lazim di sebut “kembang warung”.

Makin terkenalnya Soto Branggahan dan sulitnya ekonomi membuat hal-hal negatif perlu diwaspadai oleh pembeli. Beberapa diantaranya seperti harga yang “dientol” (dinaikkan secara tidak wajar) atau volume nasi yang dikurangi.

Untuk menyiasati ini, Bu Badriyah, salah satu pedagang Soto Branggahan memberikan tips, “Kalau mangkuk kecil permangkuk harganya Rp. 3.000,-, kalau mangkuk biasa Rp. 3.500,-. Agar tidak “keblondrok” (tertipu) ya tanyakan saja harganya sebelum makan nasi atau lauknya. Sementara untuk tahu nasinya dikurangi atau tidak, cek saja sendok bebeknya mas, kalau sendok bebeknya “dikurepkan (diletakkan dengan posisi tertutup)” tandanya nasinya dikurangi, kalau terbuka tandanya nasinya tidak dikurangi.”

Tak lengkap rasanya, jika hanya membaca artikel ini. Jika anda berkesempatan melakukan perjalanan dari Kediri ke Tulungaggung atau sebaliknya, sempatkan diri mampir dan menikmati Soto Branggahan. Selamat mencoba (Yos).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar