Selasa, 14 Februari 2012

Soto Branggahan Soto Khas Kediri

Tahu Takwa, Krupuk Opil (Krupuk Tamayum), Pecel Tumpang, Sate 02 (Bekicot) itulah sederet kuliner yang terpikir di benak kita, ketika kita menyebut nama Kediri. Namun sebenarnya, selain beberapa makanan yang sebagian telah diulas dalam jelajahbudaya.com, Kediri masih menyimpan bermacam kuliner khas lainnya salah satunya adalah Soto Branggahan.

Soto Branggahan memang tak seterkenal soto Lamongan, Soto Madura maupun Coto Makassar. Jika ketiga varian soto tersebut tersebar di seluruh penjuru Nusantara, bahkan manca negara, Soto Branggahan hanya terlokalisir di sepanjang jalan Desa Branggahan, Kecamatan Ngadiluwih, Kabupaten Kediri. Kalaupun ada di luar wilayah tersebut, jumlahnya tidak terlalu banyak, dan hanya berupa warung tenda atau warung kecil.

Sebagaimana soto-soto lain yang memiliki kekhasan sesuai dengan daerah di mana soto tersebut dijual, Soto Branggahan juga memiliki kekhasan. Kekhasan itu terletak pada piranti makan dan racikan bahan yang digunakan. Dari sisi piranti makan, Soto Branggahan (yang asli) disajikan dengan menggunakan mangkuk kecil (Seperti mangkuk bubur Cina Kuno) dan sendok bebek berbahan baja tahan karat (Stainless Steel).
Sementara untuk racikan bahan, berbeda dengan beberapa jenis soto, Soto Branggahan berkuah santan yang telah dicampur dengan kemiri. Ini digunakan agar kuah tidak bening dan dapat menambah rasa gurih. Ini berbeda dengan Soto Kudus yang menggunakan taburan kacang goreng sebagai penambah gurih.

Untuk bahan lainnya, tak berbeda dengan Soto Lamongan yang menggunakan daging ayam kampung dan irisan sayur seperti kobis dan seledri. Perbedaan lain dengan Soto Lamongan adalah tidak adanya koya yang ditaburkan di atas sajian Soto Branggahan. Sementara itu untuk menambah rasa pedas, berbeda dengan soto lainnya yang menggunakan sambal, Soto Branggahan menggunakan cabai kecil rebus utuh yang dapat digerus.

Piranti makan yang unik dan rasa gurih namun tidak eneg ketika mengkonsumsi Soto Branggahan membuat mayoritas konsumen “tanduk” (tambah) ketika menikmatinya. Bahkan menurut Badriyah, salah satu penjual Soto Branggahan beberapa pembelinya sampai tambah sebanyak enam hingga delapan mangkuk.

“Mereka makan sampai tanduk-tanduk (tambah) beberapa kali karena ukuran mangkuknya kan kecil. Kalau dibandingkan mangkuk biasa hanya setengah sampai sepertiganya saja. Selain itu rasanya kan gurih dan tidak “eneg” mas. Tapi karena ada yang bilang mangkuknya terlalu kecil, ya saya sediakan mangkuk besar,” ungkap Badriyah.

Berawal Dari Soto Pikul

Menurut beberapa warga asli Branggahan, soto berkuah santan dan tumbukan kemiri ini telah ada sejak tahun 1962. Pada awalnya hanya ada 2 orang penjual soto yang saat ini menjadi kuliner khas Branggahan ini. Salah satunya Cak Beno yang kini usahanya diteruskan oleh putranya.

Setelah “fase pikulan” untuk beberapa saat lamanya, Cak Beno dan beberapa pedagang soto pikul asal Branggahan lainnya memutuskan untuk mangkal di pinggir jalan. Karena mereka berjualan di bawah Pohon Joar, Soto Branggahan yang kita kenal sekarang sempat disebut Soto Joar.

Seiring dengan berjalannya waktu, terdapat belasan warga Branggahan yang berwirausaha soto dengan menggunakan warung tenda di pinggir jalan utama jalur Kediri Tulungagung. Tak pelak lagi, kuliner berkuah yang menurut dennys lombard (dalam Nusa Jawa: Silang Budaya) berasal dari Cina ini memakai “brand” Soto Branggahan.

Menurut Helmi, cah asli Branggahan yang kini merantau di Jakarta, jumlah pedagang Soto Branggahan semakin bertambah pasca krisis moneter yang terjadi di era 90’an. Hingga kini, menurut Badriyah, salah satu peramu Soto Branggahan, jumlah pedagang Soto Branggahan sudah berada di kisaran 50 pedagang.

Bertambahnya pedagang makanan yang menurut antropolog UGM Dr. Lono Simatupang merupakan makanan kolaboratif ini, terjadi karena peluang bisnis yang menjanjikan. Hal ini membuat banyak investor yang hanya berinvestasi tanpa mau terjun langsung. Biasanya mereka hanya mengawasi sebentar usahanya lalu menyerahkan kepada beberapa gadis belia yang lazim di sebut “kembang warung”.

Makin terkenalnya Soto Branggahan dan sulitnya ekonomi membuat hal-hal negatif perlu diwaspadai oleh pembeli. Beberapa diantaranya seperti harga yang “dientol” (dinaikkan secara tidak wajar) atau volume nasi yang dikurangi.

Untuk menyiasati ini, Bu Badriyah, salah satu pedagang Soto Branggahan memberikan tips, “Kalau mangkuk kecil permangkuk harganya Rp. 3.000,-, kalau mangkuk biasa Rp. 3.500,-. Agar tidak “keblondrok” (tertipu) ya tanyakan saja harganya sebelum makan nasi atau lauknya. Sementara untuk tahu nasinya dikurangi atau tidak, cek saja sendok bebeknya mas, kalau sendok bebeknya “dikurepkan (diletakkan dengan posisi tertutup)” tandanya nasinya dikurangi, kalau terbuka tandanya nasinya tidak dikurangi.”

Tak lengkap rasanya, jika hanya membaca artikel ini. Jika anda berkesempatan melakukan perjalanan dari Kediri ke Tulungaggung atau sebaliknya, sempatkan diri mampir dan menikmati Soto Branggahan. Selamat mencoba (Yos).

Kisah Sedih Perempuan Aktivis

Tak semulus yang diperkirakan dan tak sesederhana yang dibayangkan khalayak, kehidupan pribadi dan rumah tangga seorang aktivis perempuan ternyata menyimpan beragam kisah sedih. Mulai dari keretakan rumah tangga, konflik peranan hingga kekerasan dalam keluarga menjadi bagian dari nyanyian sedih yang jarang sekali dilantunkan para Srikandi pejuang HAM dan kebebasan tersebut.

Walau tak semua perempuan aktivis mengalaminya, jika mau jujur, tak sedikit pula para perempuan aktivis yang mengalaminya (walau mungkin tak terpublikasikan dengan baik karena berbagai pertimbangan).

Sebut saja Cipluk (bukan nama sebenarnya), aktivitasnya di dunia pergerakan harus dibayar mahal dengan keretakan yang mengarah pada karamnya biduk rumah tangga yang telah diarungi bersama selama puluhan tahun. Kurangnya waktu untuk keluarga dianggap sebagai bentuk pelanggaran berat terhadap konsensus hidup bersama yang telah dicanangkan di depan pemuka agama ketika akad nikah.

Pendampingannya terhadap ratusan anak jalanan dan pemulung yang dianggap mulia oleh sebagian besar orang ternyata hanya dianggap sebagai bentuk pengingkaran tanggung jawab terhadap keluarga. Ibarat anak kecil yang “dolan tanpa kenal waktu” atau remaja yang “keluyuran” sepanjang hari. Tak ayal lagi, dalam sekejap pujian yang terngiang di telinga ketika berada bersama kaum dhuafa berganti dengan umpatan dan celoteh kemarahan yang mengalir bagai omelan seorang bapak pada anaknya yang “keluyuran”.

OBLO (organisasi Bocah Lali Omah) menjadi olokan yang sering di dengar oleh para aktivis muda di beberapa daerah. Ironisnya, “singkatan guyon” di kalangan anak muda dan penggemar travelling ini kini telah bergeser makna ketika diterapkan bagi para aktivis perempuan. OBLO tidak lagi menjadi guyonan tapi menjadi ungkapan yang mengandung stigma sinis bagi para perempuan aktivis tersebut.

Sebagai akibat dari semua ini, Ciplukpun harus memutuskan untuk “pisah ranjang” dengan suaminya. Baginya ini bukan keputusan yang mudah mengingat keberadaan kedua buah hatinya dan juga status sosial kemasyarakatan yang dimilikinya. Namun, apa daya, demi menjaga kestabilan diri dan keluarganya serta, optimalisasi peran sosialnya, Cipluk memutuskan untuk pisah ranjang dengan suami yang telah didampinginya selama puluhan tahun.

Apa yang dialami Cipluk tak jauh beda dengan apa yang dialami Menik (bukan nama sebenarnya), walau kasusnya berbeda, Menik juga mengalami permasalahan dalam rumah tangganya. Bedanya jika Cipluk harus bergumul dengan disharmonisasi relasi dengan suami dan keluarganya, Menik mengalami disharmonis dengan peranan yang dimilikinya.
Perannya sebagai seorang aktivis yang melakukan pendampingan terhadap ratusan buruh pabrik ternyata tak seiring sejalan dengan perannya sebagai ibu rumah tangga dan istri yang baik. Gaya aktivis yang terbuka dan transparan dalam menyerang sikap dan tindakan yang dianggap salah ternyata tidak dapat diterapkan dalam rumah tangga.

Sebagaimana Cipluk, tak jarang terdengar teriakan konflik dan tangisan anak dri rumah Menik ketika ia berada di rumah. Teriakan dan tangisan perlawanan muncul dari suami dan anak-anak Menik yang tidak setuju pola manajemen rumah tangga yang diterapkannya. “Istri macam apa kamu, ingat ini bukan pabrik di mana kamu jadi provokator demo, ini rumah!” itulah kata-kata yang sering terdengar dari mulut suami Menik, yang notabene telah beralih peran sebagai pengawal rumah tangga, dengan tingkat kehadiran yang lebih tinggi di rumah, dibanding Menik.

Tak hanya itu, teriakan dari kedua buah hatinya pun harus terdengar hingga empat rumah di sekitarnya “Mama jahat, bisanya marah-marah dan ngatur, waktu untuk kami saja tidak ada, gak kayak ibunya Ratna yang sabar dan selalu di rumah.”

Ironis memang, Menik yang dianggap pahlawan oleh para buruh dan dianggap “jenderal lawan” yang paling ditakuti oleh para investor dan “boss” para buruh, ketika di rumah hanya dianggap sebagai “istri dan ibu” yang lupa akan kodratnya. Ibarat binatang, bagai kupu-kupu yang indah ketika berada di sekitar para buruh yang didampinginya, secara mendadak, ia menjadi ulat yang menjijikkan ketika berada diantara anak dan suaminya.

Namun apa yang dialami oleh Cipluk dan Menik ini tak separah yang dialami oleh Bunga (Bukan nama sebenarnya). Tak hanya mengalami konflik, Bunga yang banyak bergerak dalam advokasi dan pemberdayaan terhadap perempuan ini harus menjadi korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Ironisnya tindakan kekerasan ini tak jarang harus dialami di depan buah hatinya tercinta.

Sungguh menyedihkan, Bunga yang senantiasa aktif dalam pendampingan dan pemberdayaan perempuan ternyata harus mengalami ketidak berdayaan di hadapan sang nahkoda rumah tangga yang terus menerus melontarkan kata kutuk sembari sesekali memainkan kaki dan tangannya melengkapi “aniaya” terhadap Bunga.

Yang lebih menyesakkan dada, tindakan kekerasan terhadap aktivis anti kekerasan terhadap perempuan ini terekam dengan jelas di memori para buah hatinya. Tak ayal lagi, kertas gambar dan kertas tulis penuh dengan beragam bentuk keprihatinan dari pribadi kecil yang belum saatnya menyaksikan adegan “khusus dewasa” tersebut.

Tak setegar ketika memperjuangkan hak perempuan yang didampinginya, Sang Pembela dan Pemberdaya perempuan yang tak jarang mengalami lebam dan luka membiru ini hanya mampu berkata, “Aku sudah tidak kuat, tapi mau gimana lagi, kasihan anakku kalau kami harus berpisah. Ini mungkin sudah takdirku. Coba aku jalani saja dan ikuti apa maunya suamiku.”

Sungguh sesuatu yang tidak seharusnya terjadi, tapi itulah fakta di lapangan. Cipluk, Menik dan Bunga mewakili beberapa perempuan aktivis yang harus mengalami permasalah dengan rumah tangganya. Namun apakah dengan ini pergerakan dan advokasi harus diakhiri? Tentu tidak, permasalahan boleh muncul, namun perjuangan harus tetap di jalankan.

Untuk menghadapi hal ini memang bukan sesuatu yang mudah, perlu perjuangan yang panjang, namun dengan keyakinan terhadap “Keadilan Tuhan” dan kekuatan sinergisme apapun permasalahan dapat di selesaikan. Kuncinya terletak sejauh mana “keberanian” Sang Perempuan Aktivis melawan arus pelanggaran HAM yang dialaminya dan perlunya “peer group” diantara para aktivis khususnya para perempuan aktivis . Selamat Berjuang wahai para Kartini! (Yos).(11 Januari 2011 · by Immanuel Yosua · in Features, Jelajah, Keluarga, Lifestyle, Opini, Perempuan @jelajahbudaya.com)

Antara Tempur dan Nempur

Sebagai bagian integral dari sebuah proses sosial, seorang aktivis pergerakan tak ubahnya dengan elemen sosial lainnya, yang juga diperhadapkan dengan berbagai permasalahan hidup. Sebagai manusia normal yang memiliki keluarga, kebutuhan sosial ekonomi dan kehidupan “manusia wajar”lainnya, haruslah menjadi tanggung jawab yang harus dipenuhi selain tanggung jawab mulianya sebagai seorang aktivis. Dalam memenuhinya, tak jarang seorang penjaga moral masyarakat ini harus bergelut dalam rangka harmonisasi.

Pergulatan panjang harmonisasi antara kedua tanggung jawab tersebut, penulis rumuskan menjadi menjadi istilah sederhana dan “pasaran” menjadi “antara tempur dan nempur”. “Nempur” atau membeli beras untuk dimasak dan disantap oleh keluarga merupakan istilah yang lazim digunakan oleh masyarakat Jawa Timur Kulonan yang bernuansa “Mataraman” Seperti Kediri, Nganjuk, Madiun dan sekitarnya. Istilah ini digunakan untuk mewakili “kebutuhan dapur” yang harus senantiasa dipenuhi guna menjamin stabilitas kehidupan keluarga. “Di tengah-tengah perjuangannya untuk ber”tempur” menghadapi ketidak adilan serta berbagai bentuk ketidak benaran dalam kehidupan sosial kemasyarakatan yang menyita banyak tenaga, pikiran dan waktu, seorang aktivis masih harus berfikir bagaimana ia bisa “nempur” sehingga “dandang keluarga tidak ngguling”.

Harmonisasi diantara keduanya merupakan pergulatan panjang seorang aktivis dari waktu ke waktu. Walau tak jarang yang mengalami keberhasilan dalam proses harmonisasi, kegagalan yang memalukan juga banyak dialami oleh para aktivis. Mulai dari inkonsistensi, pengkhianatan hingga “pelacuran pergerakan” menjadi kisah panjang dan bahan obrolan dari kehidupan para aktivis.

Akibatnya, tak sedikit aktivis atau lembaga swadaya masyarakat secara kelembagaan harus menjadi bahan hujatan, karena dibalik “pertempuran” yang dilakukan ternyata terkandung maksud memenuhi kebutuhan “nempur” alias mencukupi kehidupan ekonomi keluarga. Tak lacur, sebagian masyarakat atau pemangku kepentingan di negeri ini menjadi apriori atau apatis terhadap keberadaan aktivis maupun lembaga swadaya masyarakat, apapun bentuknya.

Kondisi ini membuat banyak pribadi yang ingin berperan dalam dunia sosial kemasyarakatan enggan untuk beraktivitas atau mendirikan lembaga swadaya masyarakat hanya karena tidak ingin “dicap gerandong” (sejenis makhluk pengisap darah dalam film fiksi Misteri dari Gunung Merapi). “Saya senang sih kegiatan sosial, tapi gak lah kalau disuruh mendirikan LSM atau diajak masuk LSM, nanti saya dianggap tukang “nggolek-nggolek”. ungkap Nardi yang konsen terhadap kegiatan kemasyarakatan namun enggan “ber-LSM”.

Ironis memang, “dunia kepahlawanan sosial” yang menjadi benteng moral terhadap berbagai bentuk pelanggaran sosial kemasyarakatan harus ternodai oleh berbagai bentuk pelacuran dan perselingkuhan sosial hanya demi rupiah. Naasnya, uang hasil “dosa sosial” itu harus digunakan oleh sebagian oknum pribadi yang mengaku dirinya aktivis untuk “menghidupi keluarga” yang notabene merupakan generasi penerus bagi perbaikan negeri ini.

Pergulatan Panjang

Terlepas dari hal negatif yang muncul sebagai akibat dari ketidakmampuan mengharmoniskan dua tanggung jawab secara proporsional, “nempur” merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi oleh seorang aktivis, di sepanjang sejarah pertempurannya melawan ketidak adilan dan ketidakbenaran. Upaya pemenuhan kebutuhan sehari-hari merupakan tanggung jawab yang tak kalah pentingnya dibanding tanggung jawab sosial yang dihadapi.

Lalu bagaimana agar terhindar dari berbagai bentuk perselingkuhan dan pelacuran sosial dalam perjuangan? Menyitir ucapan mbah Qosim (Alm), penggerak aktivis di Kota Kecil Pare, seorang aktivis harus mampu menemukan jalan keluar untuk dapat “nempur” tanpa menodai semangat pertempuran yang dimiliki. Solusi “nempur” yang ditempuh hendaknya tidak diletakkan pada proses per”tempur”an yang harus dihadapi.

Dengan kata lain, janganlah kebenaran dan nilai-nilai luhur yang diperjuangkan harus dikorbankan dalam per”tempur”an hanya untuk “nempur”. Janganlah kebenaran diperjual belikan dan irama perjuangan harus mengalami perlambatan bahkan dihentikan secara mendadak hanya karena sejumlah rupiah. Atau bahkan janganlah “bertempur” dengan mengangkat panji-panji kebenaran yang faktual hanya untuk ”nempur”.

Untuk dapat terhindar dari kondisi yang menyebabkan gerakan sosial maupun aktivitas perlawanan kandas di tengah perjuangan, tidak ada jalan lain bagi seorang aktivis untuk berusaha menemukan jalan keluar bagi pemenuhan kebutuhan dapurnya dengan jalan yang “wajar” tanpa harus mengganggu bahkan menggunakan “pergerakan” sebagai sarana pemenuhannya.

Kondisi ini dapat dicapai dengan “keiklasan” sang aktivis “berpeluh keringat” bekerja sebagaimana yang dilakukan oleh masyarakat lainnya. Berdagang, bertani, mengajar atau bidang kerja lainnya. Kalaupun ingin tidak jauh-jauh dari dunia pemberdayaan dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya, program-program atau proyek-proyek pendampingan yang menyediakan dana pendampingan bagi pendamping, dapat juga menjadi alternatif bagi pemenuhan kebutuhan “nempur”.

Dan yang terpenting, dibalik semua solusi yang muncul dalam rangka harmonisasi antara nempur dan tempur, keiklasan seorang aktivis untuk “hidup” sederhana juga diperlukan. Keiklasan untuk tidak punya apa-apa merupakan semangat yang tak kalah pentingnya untuk menghadapi godaan penyimpangan. Tanpa adanya semangat ini, seorang aktivis akan terjebak dalam pola hidup hedonisme yang secara perlahan namun pasti akan menyeretnya ke lembah pelacuran sosial kemasyarakatan.

Semangat harmonisasi ini hendaknya senantiasa menjadi bagian terpenting dalam kehidupan seorang aktivis dalam pergulatan panjang kehidupan sosial kemasyarakatan yang kian hari kian terjal seiring dengan semakin merebaknya neoliberalisme yang menghadirkan konsumerisme dan hedonisme dalam berbagai aspek kehidupan. Selamat berjuang, kiranya kita dikuatkan untuk bertahan bahkan menang dalam pergulatan panjang harmonisasi antara tempur dan nempur!!!

*Coretan sederhana dan singkat ini kupersembahkan untuk Alm. Mbah Qosim (Mohammad Qosim Sholeh) yang telah menjadi motor pergerakan di Pare, Kediri dan sekitarnya dan yang telah mengajariku bagaimana mengharmoniskan “tempur dan nempur” dan juga kepada para pejuang kemasyarakatan yang terus berjuang mengharmoniskan antara “tempur dan nempur” sehingga perjuangan advokasinya tidak ternodai (30 Maret 2011 · by Immanuel Yosua · in Opini jelajahbudaya.com)

Bakudapa 2011 Upaya Melestarikan Budaya Kawanua



Bagaimana kabar ngana jo?” ungkap seorang ibu paruh baya sembari memeluk dan mencium seorang perempuan paruh baya lainnya. “Puji Tuhan, baek-baek, ngana sendiri bagaimana? Dah lama kita tak bakudapa jo,” Jawab perempuan tersebut. Itulah segelumit peristiwa bahagia yang terjadi di Sport Center Jambu Luwuk Resort, tempat diadakannya berbagai perlombaan bernuansa Kawanua, awal Oktober 2011 lalu.

Acara tersebut merupakan bagian dari acara “Kawanua Bakudapa Sedunia 2011” yang dihelat di Kota Batu, kota yang mengikrarkan diri sebagai kota wisata. Selama seminggu, ribuan warga Kawanua yang bukan hanya datang dari penjuru Nusantara, namun dari beberapa belahan dunia larut dalam “bakudapa sebagaimana mereka rindukan.

Dalam penelusuran penulis yang kurang memahami budaya Kawanua, dari seorang kawan Minahasa, penulis menemukan istilah bakudapa. Bakudapa, dalam bahasa Indonesia memiliki makna Baku Dapat atau saling bertemu muka. Istilah ini digunakan untuk menjelaskan adanya pertemuan langsung antar pribadi. Lebih dari sekedar bertemu, bakudapa merupakan ajang untuk melepas rindu terhadap sesama warga Kawanua dan juga kerinduan terhadap kampung halaman.

Sebagaimana warga dari suku lainnya terutama Jawa dan Batak, warga Kawanua merupakan bagian dari masyarakat yang mudah beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Dalam adaptasi yang mengandung unsur akulturasi dan asimilasi, nuansa budaya asli Kawanua akan senantiasa tampak. Salah satunya melalui logat bicara.

Namun tak dapat dipungkiri, kuatnya kemampuan beradaptasi dengan lingkungan sebagaimana warga Suku Batak dan Jawa, membuat terkadang warga Kawanua “seakan kehilangan identitasnya.” Hal ini terutama terjadi pada keturunan Kawanua yang telah lama di “rantau” dan kurang mengenal budaya asali mereka, ungkap Benni Matindas, salah satu budayawan Manado dalam sebuah diskusi dengan penulis.

Bertolak dari hal itulah salah satu alasan mengapa pertemuan Kawanua Bakudapa Sedunia dihelat selama satu minggu penuh. “Ya memang itu salah satu tujuan kita, supaya warga Kawanua terutama generasi muda yang tidak bersentuhan dengan budaya asal tidak melupakan budaya asalnya. Kami rindu generasi muda Kawanua (Manado dan sekitarnya) seperti generasi muda suku Jawa yang tidak pernah kehilangan akar budayanya” ungkap ketua panitia acara, Hendrikus A Dimpudus, MA dalam sebuah dialog dengan penulis.

Sekilas pernyataan Dimpudus melegakan hati penulis sebagai orang Jawa. Namun ketika penulis kembali merenung, keprihatinan yang dialami Dimpudus tak berbeda dengan keprihatinan yang penulis alami. Sebagai “wong asli Jowo” penulis merasa sedih, sebab dalam berbahasa Jawa dan menorehkan aksara Jawa pun, kemampuan penulis hampir mendekati titik ketiadaan.

Kembali ke acara Kawanua Bakudapa Sedunia, ketika membaca buku acara yang disodorkan Dimpudus dan menyimak beberapa rangkaian acara, penulis menemukan kuatnya nuansa kembali ke budaya asali. Ulasan singkat dan beberapa materi seminar menunjukkan tingginya semangat untuk membawa setiap warga kawanua khususnya generasi muda, menikmati dan mencintai budaya asali mereka.

Sebut saja, Minahasa dan Manguni, Musik Bambu Bia, Minahasa Negeri Para Pemberani dan beberapa artikel lainnya turut menghias buku acara yang bernuansa warna dan ornamen khas Mihanasa. Belum lagi beberapa tema seminar seperti sistem dan nilai ekonomi Minahasa, Prinsip-prinsip utama kehidupan manusia Minahasa, Jiwa Ksatria Minahasa, Fungsi Strategis Kepemimpinan yang berakar pada budaya Mihasa turut mengokohkan semangat kembali ke budaya asali.

Selain seminar, tari cakalele yang disajikan di pembukaan Kawanua Bakudapa Sedunia 2011 dipadu dengan berbagai tarian khas Minahasa seperti tari Maengket membuat nuansa budaya tanah Manguni terlihat jelas. Tak hanya mata, telingapun dibawa ke alam Bunaken melalui lantunan musik kolintang yang bukan hanya disajikan namun dilombakan.

Bias Budaya

Kembali kepada motivasi utama diadakannya bakudapa yang sarat dengan perhelatan budaya, sangat menarik untuk menyimak kembali pernyataan Ketua Panitia, Hendrikus Dimpudus. Upaya untuk melestarikan budaya Kawanua bertolak dari kekuatiran hilangnya pemahaman warga Minahasa khususnya generasi muda terhadap akar budaya.

Tak dapat dipungkiri, sebagaimana pengakuan Dimpudus, seiring dengan berjalannya waktu, terdapat kebingungan diantara generasi muda terutama yang ada di rantau atau bukan berasal dari keturunan asli Minahasa (hanya salah satu orang tua berasal dari Minahasa). Kebingungan ini menyebabkan terjadinya bias budaya.

Keterbukaan Minahasa terhadap budaya luar termasuk budaya asing yang berasal dari Belanda dan negara lain membuat budaya Minahasa asli kurang dapat dikenali. Akulturasi dan asimilasi yang cukup lama dengan budaya barat, menyebabkan generasi muda kebingungan menentukan budaya asli Kawanua. Hal ini diperparah dengan jauhnya generasi muda di rantau dengan akar budaya kawanua di bumi Minahasa.

Namun tak semudah membalik telapak tangan, upaya mengharmoniskan kembali generasi muda Kawanua dengan akar budaya mereka merupakan upaya panjang yang harus dikerjakan. Berbagai sekat dan endapan konsep maupun prinsip hidup, termasuk agama (terutama agama Samawi) membuat upaya menemukan akar budaya Minahasa memerlukan keberanian untuk melepaskan diri dari berbagai tirani keyakinan.

Sebut saja Kekristenan, menyitir ungkapan Budayawan Minahasa, benni Matindas, ketika menjelaskan tentang asal mula musik kolintang, kehadiran Kekristenan di tanah Minahasa, diakui atau tidak memiliki andil besar dalam menyingkirkan dan mengubur budaya lokal Minahasa. “Sinkritisme”, “Okultisme” dan “Sesat” merupakan stigma yang menjadi penghalang bagi upaya untuk kembali menemukan akar budaya Minahasa.

Namun sesal dikemudian hari tiada guna, seiring dengan berjalannya waktu, sudah saatnya Kekristenan sebagai salah satu elemen yang berpengaruh dalam budaya Mihanasa membuka diri. Kekristenan harus mampu menghadirkan essensi diri yang berorientasi pada kearifan lokal, bukan lagi budaya barat yang membuat Kekristenan terpuruk dalam tudingan anti budaya lokal dan agen Imprealisme.

Walau “Pertemuan Kawanua Bakudapa Sedunia 2011” baru merupakan riak kecil upaya untuk mengembalikan warga Kawanua khususnya generasi muda ke akar budaya Minahasa, acungan jempol layak kita berikan bagi upaya yang lebih besar bagi terwujudnya budaya nasional yang mengedepankan keragaman asali nusantara melawan kuatnya arus globalisasi. Selamat berjuang menemukan akar budaya kita masing-masing.(coretanku di jelajahbudaya.com dimana aku belajar menulis)